ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA DALAM BENTUK KONSTITUSI INDONESIA DAN SISTEM TATA NEGARA KERAJAAN GALUH

ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA DALAM BENTUK KONSTITUSI INDONESIA DAN SISTEM TATA NEGARA KERAJAAN GALUH




Disusun
Rohidin (82339220011)
Dea Mardiyanti (82339220010)
Magister Hukum Program Pascasarjana Hukum Universitas Galuh


Abstrak
Indonesia sebagai negara hukum mempunyai sumber hukum formil dan materiil, Konstitusi tertulis di Indonesia yaitu UUD 1945. Konstitusi Negara Indonesia mengalami beberapa perubahan yang disebabkan oleh kondisi politik hukum.Tri Tangtu di Buana (TTB) merupakan filosofis masyarakat sunda yang dikenal sejak abad ke-16 M yang tertuang dalam Fragment Carita Parahiyangan (FCP) yang mengupas adanya “tiga unsur penentu kehidupan di dunia”, yang berpotensi diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia Sunda termasuk di masa Kerajaan Galuh. Metode penelitian menggunakan jenis penelitin ini adalah penelitian yuridis normatif (normative legal research) Pendekatan penelitian menggunakan penelitian normative sering disebut juga dengan penelitian doctrinal.
Kata Kunci: Perbandingan konstitusi, Kerajaan Galuh, Indonesia

Pendahuluan
Perbandingan hukum tata negara dalam bahasa Perancis disebut dengan La Methode Compare, Sri Soemantri Martosoewigyo memberi keterangan bahwa perbandingan hukum tata negara adalah suatu cabang ilmu dari ilmu hukum dengan menggunakan metode perbandingan sebagai metode membandingkan beberapa unsur dalam hukum tata negara pada dua negaraa atau lebih. Perbandingan hukum tata negara juga dapat diartikan sebagai ilmu yang digunakan untuk membandingkan dua negara atau lebih yang tentunya menggunakan metode perbandingan hukum tata negara untuk menganalisis sistem ketatanegaraan secara sistematis di berbagai negara, menemukan sistem ketatanegaraan pada negara yang diteliti, menguji hasil penelitian serta untuk meyempurnakan sistem ketatanegaraan pada negara yang diteliti.
Kedudukan ilmu perbandingan hukum tata negara adalah untuk memberi gambaran di suatu negara atau lebih kemudian untuk meneliti lebih jauh asal usul dan pengembangan ilmu hukum dan tentunya hukum umum serta sebagai pedoman untuk mewujudkan negara diinginkan atau yang dicita-citakan (staats idee). 
Perbandingan hukum tata negara dapat diperoleh dari menemukan bentuk pemerintahan, bentuk negara, sistem pemerintahan, hubungan cabang kekuasaan, hak asasi manusia bahkan dengan konstitusi di suatu negara atau lebih. Pendekatan yang dilakukan dalam ilmu perbandingan hukum tata negara adalah salah satunya dengan menggunakan pendekatan traditional-institutional atau kelembagaan. Pendekatan traditional-institutional adalah pendekatan yang menggunakan pandangan secara normatif dengan kajian struktur formal atau kelembagaan negara. Selain pendekatan traditionalinstitutional atau kelembagaan ada juga pendekatan behavior dan post behavior. Perbandingan hukum tata negara dapat dilihat dari konstitusi dan fungsi kekuasaan legislatifnya. Konstitusi bisa disebut sebagai aturan hukum yang sangat penting dan menggambarkan sistem ketatanegaraan suatu negara. Negara juga mempunyai parlemen atau lembaga legislatif yang setiap negara juga berbeda-beda dan pastinya akan mempunyai peran yang berbeda pula.
Pada suatu negara di dunia pasti mempunyai konstitusi, karena konstitusi merupakan salah satu syarat penting untuk mendirikan dan membangun suatu negara yang merdeka, oleh karenanya begitu pentingnya konstitusi itu dalam suatu negara. Konstitusi merupakan suatu kerangka kehidupan politik yang sesungguhnya telah dibangun pertama kali peradaban dunia dimulai, karena hampir semua negara menghendaki kehidupan bernegara yang konstitusional, adapun ciri-ciri pemerintahan yang konstitusional diantaranya memperluas partisipasi politik, memberi kekuasaan legislatif pada rakyat, menolak pemerintahan otoriter dan sebagainya.
Indonesia sebagai negara yang merdeka tentu saja mempunyai konstitusi sebagai landasan menjalankan pemerintahan negara. Terbentuknya konstitusi di Indonesia diawali dari janji Jepang yang kemudian membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zumbi choosakai, kemudian terbentuk pada tanggal 29April 1945, dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, mulai bekerja tanggal 29 Mei 1945, maka dengan terbentuknya BPUPKI bangsa Indonesia secara legal mempersiapkan kemerdekaannya, untuk merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka. Sebagai negera merdeka, Indonesia tidak mungkin dapat membentuk dan menjalankan pemerintahan jika tidak membentuk konstitusi atau UUD terlebih dahulu, karena dalam konstitusi disebutkan perintah membentuk pemerintahan seperti yang terurai dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4, yang berbunyi :”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dst……….” Sehingga atas perintah konstitusi yang sudah disahkan, maka Indonesia secara legal dapat membentuk pemerintahan sesuai yang dicita-citakan.
Perkembangan konstitusi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem politik pada waktu tertentu, pada mulanya UUD 1945 dijadikan konstitusi, namun sempat tidak diberlakukan pada pemerintahan Republik Indonesia Serikan dan masa sistem pemerintahan parlementer, akhirnya UUD 1945 sebagai konstitusi di Indonesia deberlakukan kembali hingga kini dan telah mengalami perubahan.
Menelisik system tata negara sebelum Negara Indonesia berdiri adanya system tata negara berbentuk kerajaan dan kesultanan. Kerajaan dan Kesultanan yang ada tidak terlepas dari sejarah panjang bangsa ini sebagai penguat jati diri. Indonesia lahir dari kerajaan-kerajaan besar di Nusantara pada masa lampau. Setiap wilayah memiliki raja dan daerah kekuasaan sendiri yang mengatur jalannya kegiatan pemerintahannya. Salah satunya Kerajaan Galuh.
Keberadaan Kerajaan Galuh bukanlah sebuah kerajaan yang terhitung baru di Tatar Pasundan. Sejarah mencatat bahwa perpecahan sekaligus keruntuhan Kerajaan Tarumanagara di kemudian hari akan melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kerajaan Sunda dan juga Kerajaan Galuh. Bagi masyarakat umum di era sekarang, sebagian besar mungkin apabila mendengar kata Galuh akan secara otomatis mengartikanya hanya sekadar nama Kerajaan Galuh di masa lampau ataupun cikal bakal identitas kota Ciamis, akan tetapi makna dari kata Galuh ini bagi para sesepuh atau leluhur di zaman dahulu memiliki arti yang sangat sakral dan mendalam.
di Kerajaan Galuh berlaku sistem pemerintahan yang unik, yang disebut Tri Tangtu di Buana. Tri Tangtu di Buana mengandung aspek ketatanegaraan kerajaan dalam Fragmen Carita Parahyangan. Model pembagian/pemisahan kekuasaan tradisional masyarakat Sunda beserta aturanaturan lainnya cukup jelas digambarkan dalam teks Fragmen Carita Parahyangan (FCP) (abad ke-16 M). Hal ini tidak semata-mata ditentukan oleh seorang prebu, akan tetapi dilakukan atas kesepakatan dengan pihak rama dan pihak resi. Prebu-rama-resi inilah yang disebut sebagai Tri Tangtu di Buana (Tiga golongan yang menentukan roda kekuasaan di dunia). 
Sistem kekuasaan pada masyarakat Sunda pada masa itu harus dibagi-bagi sedemikian rupa sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya. Hal tersebut tentunya sangat beralasan supaya kekuasaan kerajaan tidak terpusatkan pada satu tangan (raja). Dengan pemisahan kekuasaankekuasaan itu dapatlah dicegah tindakantindakan penguasa secara sewenang-wenang dan kebebasan berpolitik dalam kerajaan akan lebih terjamin. Diuraikan dalam FCP lembar 5b bahwa, sang prebu itu harus ngagurat batu (menggores batu) yang berarti berwatak teguh dalam menjalankan aturan, sedangkan sang rama harus ngagurat lemah (menggores tanah) yang berarti berwatak bisa menentukan pijakan atau aturan bagi para pelaksana pemerintahan, dan sang resi harus ngagurat cai (menggores air) yang berarti berwatak menyejukkan dan adil. 
Di sini tampak adanya perbedaan antara organ dan fungsi ituJika dibandingkan antara Trias Politica model Montesquieu dengan Tri Tangtu di Buana, model pembagian/pemisahan kekuasaan pada sistem Kerajaan Sunda masa lalu, maka peneliti dapat menganalogikannya sebagai berikut. Fungsi atau tugas kekuasaan di kerajaan Sunda ada tiga. Tiap-tiap fungsi atau tugas itu terpisahpisah sehingga organ atau badan yang satu tidak mencampuri fungsi atau tugas badan-badan lainnya. Hal yang dimaksud disiratkan secara jelas berikut ini: 
Tugas legislatif dipegang oleh golongan Rama dan semata-mata boleh dijalankan oleh badan itu. 
Tugas eksekutif menjadi wewenang Prebu yang semata-mata boleh dijalankan oleh badan itu. 
Tugas yudikatif semata-mata dipegang oleh golongan Resi sebagai badan peradilan. Jadi, jelaslah bahwa pemimpin pusat tidak serta merta diwariskan secara genealogis kepada putra sulung raja terdahulu. Akan tetapi, hal itu dilakukan atas kesepakatan dengan pihak rama (para tokoh wakil masyarakat) dan pihak resi (kaum intelektual ahli di bidang pengetahuan peradilan). 
Di lain pihak, pemimpin wilayah atau daerah itu juga ditentukan atas mekanisme kesepakatan dan kebijakan lembaga adat Tri Tangtu di Buana yang ada di masing-masing kerajaan daerah. Ini dapat memeperkecil terjadinya potensi gesekan atau konflik kepentingan di kalangan rakyat secara horizontal.
Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan jenis penelitin ini adalah penelitian yuridis normatif (normative legal research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian perundangundangan yang berlaku dan diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Pendekatan penelitian menggunakan penelitian normative sering disebut juga dengan penelitian doctrinal yaitu objek penelitiannya adalah dokumen perundang-undangan dan bahan pustaka. Hal yang paling mendasar dalam penelitian ilmu hukum normative, adalah bagaimana seseorang peneliti menyususn dan merumuskan masalah penelitiannya secara tepat dan tajam, serta bagaimana seseorang peneliti memiliki metode untuk menentukan langkah-langkahnya dan bagaimana melakukan perumusan dalam membangun teorinya.


Hasil dan Pembahasan
Eksistensi Kerajaan Galuh
Arti dari kata Galuh ini sebenarnya bukan hanya sekadar nama dari sebuah kerajaan, akan tetapi kata Galuh ini merupakan sebuah ilmu Kagaluhan. Kata Galuh ini secara harfiahnya, mempunyai makna sebagai permata. Permata kehidupat tersebut terletak di dalam hati atau sanubari yang apabila di bahasa Sunda akan muncul istilah Galuh, Galeuhna, Galih. Hal itu merupakan sebuah kejujuran dalam menjalani berbagai macam retorika kehidupan, dalam hal ini memiliki arti bahwa seorang manusia di setiap langkah kehidupannya haruslah mengutamakan jujur, rendah hati, dan berbuat baik demi terciptanya kesempurnaan hidup dan dihindarkan dari segala macam godaan yang menyengsarakan. Begitulah sebuah filsafat ilmu Kagaluhan yang diturunkan dari para leluhur masyarakat Galuh dalam mencapai sebuah kehidupan yang selamat secara lahir dan batin.
Merujuk kepada sumber-sumber naskah kuna yang telah ditemukan, kepercayaan yang dipeluk pada zaman Sanjaya adalah Hindu terutama dari aliran Siwa. Hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan Prasasti Canggal yang memaparkan pemujaan untuk Dewa Siwa sebanyak tiga bait dari total keseluruhan lima bait. Agama Hindu yang menjadi kepercayaan yang dipeluk tersebut ternyata semakin diperkuat dengan penjelasan mengenai bentuk ritual pemujaan yang dilakukan oleh Raja Galuh tersebut adalah Sewabakti ring batara upati yang terdapat di dalam naskah Carita Parahyangan. Kata Upati tersebut berasal dari bahasa Sansakerta yaitu utpati, atau utpata yang merupakan penyebutan atau nama lain dari Yama sang pencabut nyawa. Di dalam kisah dongeng-dongeng Bali, Yama memiliki sifat-sifat yang sama dengan Dewa Siwa, bahkan cara pemujaan terhadap para Dewa itu pun hampir sama. Di dalam tradisi sastra Sunda maupun Jawa, utpati kadangkala disebut juga dengan utipati, otipati, dan odipati.
Eksistensi mengenai keberadaan Kerajaan Galuh telah dipaparkan dalam beberapa sumber tradisional lokal Ciamis berupa naskah kuna maupun cerita yang diturunkan oleh para leluhur seperti Sanghyang Siksakanda ng Karesian, Wawacan Sajarah Galuh, Sajarah Galuh bareng Galunggung, Carita Parahyangan, Carita Waruga Guru, dan Carios Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa . Di antara naskah-naskah tersebut, Sanghyang Siksakanda ng Karesian, dan Carita Parahyangan merupakan sumber naskah yang tergolong sumber premier karena telah terbukti penulisannya sangat dekat dengan zaman Kerajaan Galuh. Sanghyang Siksa kandang Karesian ditulis pada 1518 ketika kerajaan Sunda masih ada dan Carita Parahyangan ditulis pada 1580 yang berarti setahun setelah Kerajaan Sunda runtuh. 
Sejarah mencatat bahwa proses pemisahan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh berlangsung secara damai. Tarusbawa selaku penguasa Kerajaan Sunda menyadari betul bahwa di dari Kerajaan Tarumanagara semakin hari semakin turun karena memiliki keterbatasan dalam pengelolaan wilayah kekuasaannya yang luas dan juga pada tahun 669 Masehi tersebut Sri Maharaja Linggawarman selaku Raja dari Tarumanagara telah meninggal dunia. Oleh sebab itu demi menghindari terjadinya peselisihan antar saudara, maka tuntutan dari Wertikandayun yang menginginkan adanya pemisahan wilayah kerajaan disetujui oleh Tarusbawa. Dalam kesepakatan tersebut tercetus lah bahwa yang menjadi batas wilayah dua kerajaan tersebut yaitu Sungai Citarum. Wilayah timur Citarum telah sah menjadi kekuasaan Kerajaan Galuh, sedangkan wilayah barat Citarum menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. Setelah proses pemisahan yang berlangsung kondusif tersebut, maka tercatat sejak tahun 670 Masehi Galuh telah secara resmi menjadi Kerajaan yang berdaulat dan membawahi sebagian besar kerajaan kecil di wilayah timur Citarum.
Riwayat Raja Raja Galuh
Wertikandayun menikah dengen Nay Manawati atau lebih dikenal sebagai Dewi Candrarasmi yang merupakan anak dari Pandita Makandriya. Perkawinan tersebut menghasilkan tiga orang anak yaitu Sempakwaja, Wanayasa, dan Mandiminyak. Sempakwaja menjadi Pandita di Galunggung, Wanayasa atau lebih dikenal sebagai Jantaka menjadi Pandita di Denuh, dan Mandiminyak yang nantinya akan menjadi pewaris tahta meneruskan ayahnya. Pada tahun 670-702 masehi, 
Wertikandayun memerintah di Galuh setelah melepaskan diri dari kerajaan Tarumanagara karena pada awalnya Kerajaan Medang jati menginduk kepada Kerajaan Tarumanagara akan tetapi setelah kerajaan Tarumanagara berganti pemerintahan serta berganti nama menjadi kerajaan Sunda, Werttikandayun mulai melepaskan diri dari kerajaan Tarumanagara kemudian mendirikan kerajaan yang memerintah di Kerajaan Sunda adalah Raja Tarusbawa menantu Linggawarman.
Galunggung yang merupakan sebuah Kerajaan kecil bagian dari Kerajaan Galuh, diwariskan kepada Sempakwaja oleh Wertikandayun. Putra sulung dari Wertikandayun ini tidak diwarisi tahta Galuh dari sang ayah, demikian pula dengan adiknya yaitu Wanayasa atau Jantaka dan justru memilih menjadi Rsi di Denuh. Titel putra mahkota pada akhirnya jatuh ke tangan Mandiminyak, hal ini didasari oleh penilaian Wertikandayun bahwa putra ke-tiga nya tersebut telah memenuhi segala aspek yang dibutuhkan untuk menjadi seorang Raja di kemudian hari setelah dirinya turun tahta.
 Aspek yang paling mencolok dari Mandiminyak yaitu bahwa diantara semua anak Wertikandayun, hanya dialah yang tidak memiliki cacat jasmani sehingga berbanding terbalik dengan kedua kakak nya yaitu Sempakwaja dan Jantaka. Mandiminyak memerintah di Galuh dari tahun 702-709 Masehi. Ia memerintah dalam usia 78 tahun karena memiliki kondisi yang normal maka ia dijadikan putra mahkota oleh ayahnya. Di samping itu ia begitu dimanjakan sehingga apa-apa yang diinginkannya selalu dituruti. 
Mandiminyak dijodohkan dengan putri Maharani Sima seorang penguasa dari Kalingga. Putri pasangan Maharani Sima, dan Prabu Korktikaysinga tersebut bernama Dewi Parwati yang memiliki gelar Cri Maharani Mahisa Curamardhini Catya Putikecwara. Dari perkawinannya dengan Dewi Parwati, Mandiminyak dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama putri Sannaha dengan demikian Mandiminyak telah mempunyai dua orang anak. Anak pertama bersana Bratasenawa sebagai hasil hubungan gelap atau nirca dengan Pwah Rababu yang telah diperistri oleh kakaknya yaitu Sempakwaja sedangkan anak kedua bernama Dewi Sannaha sebagai hasil perkawinan yang sah dengan Parwati. Rahiangtang Bratasenawa atau Sang Sena memerintah dikerajaan Galuh dari tahun 709-716 Masehi. Ia merupakan penguasa kerajaan Galuh ke tiga setelah Wrettikandayun dan Mandiminyak. Ia dinobatkan sebagai putra Mahkota (yuvaraja), ketika Ayahnya masih berkuasa di Galuh. 
Kedudukan Batarasena kurang disukai oleh kalangan pembesar Galuh, apalagi Purbasora sebagai putra sah dari Sempakwaja dan Pwah Rababu yang statusnya sebagai kakak se ibu sangat membenci Sena. Purbasora menyebutnya Sang Sena sebagai penguasa yang salah karena kehadirannya ke dunia dari keadaan tidak suci, oleh sebab itu Purbasora beranggapan bahwa Sang Sena tidak sah memegang kekuasaan apapun terutama menyandang gelar sebagai Raja.
Bratasena menyadari betul bahwa kedudukannya sebagai penguasa Galuh kurang disukai karena latar belakang dirinya dari keadaan yang hitam, tetapi ia tetap duduk dalam kekuasaannya. Hal ini membuat Purbasora semakin gusar maka Purbasora segera mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan dari kekuasaan Sang Sena. Pada tahun 716 Masehi terjadilah perebutan kekuasaan yang dilakukan Purbasora dalam perebutan kekuasaan itu, Purbasora dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang berpihak kepadanya seperti kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh Wiratara. Wiratara adalah Adik istri Purbasora yang bernama Citra Kirana, ia adalah Raja Indraprahasta ke-14. Di samping itu dibantu pula oleh kerajaan Kuningan, Balamoha dan penduduk Arileu. Maka dengan mudah kekuasaan dari Sang Sena dapat direbutnya. 
Rahyang Purbasora menjadi penguasa di Galuh dari tahun 716-723 Masehi, ia naik tahta dalam usia 74 tahun. Akan tetapi ia sangat cakap dalam menjalankan pemerintahan karena ia banyak ditempa oleh berbagai ilmu kenegaraan dan ilmu pengetahuan lainnya. Rahiang Purbasora tidak lama memerintah di Galuh, setelah 7 tahun memegang pemerintahan maka terjadilah perebutan kekuasaan ini dilakukan oleh Sanjaya yang merupakan anak dari Bratasena. Penyerbuan itu dilakukan pada malam hari dengan markasnya di Gunung Sawal. Pada penyerbuan itu ia berhasil membunuh Purbasora serta membunuh seluruh penghuni keraton Galuh, akan tetapi Balangantrang yang kedudukannya sebagai patih Galuh dibiarkannya lolos begitu saja akhirnya Balangantrang tinggal di Geger Sunten. Setelah melaksanakan perebutan kekuasaan, Sanjaya atau Rakian Jamri atau disebut juga Harisdharma Bhimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudhapurna Jayaanak yang merupakan hasil perkawinan antara Bratasenawa dan Dewi Sannaha memerintah Kerajaan Galuh dari tahun 725 – 732 Masehi. Setelah merebut Galuh, Sanjaya terus melakukan penumpasan kepada para pendukung Purbasora ketika merebut kekuasaan dari tangan ayahnya. 
Kemudian setelah melaksanakan penyerbuan ke Idraprahasta kemudian Sanjaya menyerang kerajaan Kuningan tetapi penyerangan ini mengalami kegagalan sampai akhirnya Sanjaya kembali ke Galuh bersama pasukannya. Setelah melakukan penyerbuan itu Sanjaya menemui Sempakwaja di Galunggung. Sanjaya meminta agar Galuh dipegang oleh Demunawan adik Purbasora, tetapi Demunawan menolak permintaan itu, hal ini terjadi karena Demunawan tidak rela kalau kerajaan Galuh menjadi bawahan kerajaan Sunda. Dalam menanggapi pihak Galunggung, Sanjaya tidak berani bersikap keras karena ia telah mendapat tekanan keras dari ayahnya sendiri yaitu Bratasena atau Sang Sena yang telah berkali-kali mengingatkan agar Sanjaya tetap bersifat hormat kepada Sempakwaja dan Demunawan akhirnya Sanjaya memutuskan bahwa ia mengakui hak Demunawan untuk memerintah di daerah yang diwariskan oleh Sempakwaja. 
Ketika Sanjaya telah berhasil menundukan raja-raja di pula Jawa Swarna Bumi dan Cina ia kembali ke Galuh untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu dihadiri oleh Sanjaya, Demunawan, Prabu Iswara dan para pembesar kerajaan serta Duta Prabu Sena dan para Duta dari Swarna Bumi. Pada saat itu Sempakwaja telah meninggal Dunia. Hasil perundingan tersebut menetapkan bahwa : 
Keterangan I 
Negara Sunda Wilayah sebelah barat Citarum diserahkan kepada keturunan Prabu Tarusbawa.
Galuh Pakuan dan Saung Galah diserahkan kepada Rsi Demunawan
Medang di bumi Mataram diserahkan kepada Sanjaya
Jawa Timur diserahkan kepada Prabu Iswara

Keterangan II
Sanjaya akan memerintah di pulau Jawa meneruskan pemerintahan kedua orang tuanya 
Galuh dan Sunda diserahkan kepada Tamperan 
Daerah kekuasaan Dangiang Guru Sempakwaja diserahkan kepada Saunggalah dibawah kekuasaan Rsi Demunawan 
Daerah sebelah timur Parlor dan Cilotrian menjadi daerah kekuasaan Iswara Narayana (adik Parwati putra Maharani Sima)
Kemudian setelah melakukan perundingan, disepakati bahwa pilihan pertama yang dijadikan sebagai keputusan bersama. Tahta Galuh selanjutnya diberikan kepada Prabu Adimulya Permanadikusuma yang merupakan putra Wijaya Kusuma yang menjadi patih di Saunggalah (kuningan), ketika Demunawan memegang pemerintahan. Demunawan atau Rahyang Kuku atau disebut juga Sang Paramarta adalah adik dari Purbasora, sedangkan Wijaya Kusuma adalah anak dari Purbasora dengan dmeikian Demunawan adalah pamannya Wijaya Kusuma. 
Prabu Adimulya Permanadikusuma lahir pada tahun 683 Masehi ia seumur dengan Sanjaya putra Bratasena yang nantinya mengangkat Adimulya Permanadikusuma menjadi raja di Galuh dengan maksud untuk menghilangkan ke tidak simpatian para tokoh Galuh terhadap dirinya terutama keturunan Sempakwaja dan Rsi Guru Jantaka. Dalam riwayat perkawinannya, Adimulya Permanadikusuma menikah dengan Naganingrum yang merupakan putra Sekarkencana sedangkan Sekarkencana adalah putra dari Balangantrang sebagai hasil perkawinannya dengan Adik Purbasora sehingga dengan demikian Naganingrum adalah Cucu Balangantrang sedangkan Balangantrang adalah paman dari Adimulya Permanadikusuma. Dari perkawinannya tersebut, Adimulya Permanadikusuma dikaruniai anak yang bernama Ciung Wanara atau Sang Manarah.
Adimulya Permanadikusuma pergi mencari tempat ideal untuk dijadikan pusat pemerintahan sekaligus bertapa, ketika itu ia baru menjalankan pemerintahan selama kurang dari satu tahun. Saat anak pertamanya yang bernama Ciung Wanara baru berumur lima tahun ia melakukan tapa karena merasa bingun dalam memerintah sebab kerajaan Galuh harus tunduk kepada kerajaan Sunda. Keadaan ini mungkin bertolak belakang dengan pribadinya sendiri, apalagi bila mengingat perjuangan leluhurnya yaitu Wertikandayun yang telah bersusah payah memerdekakan Galuh dari Tarumanagara yang telah berganti nama menjadi kerajaan Sunda sejak tahun 606 Masehi, yakni ketika raja Tarusbawa yang menjadi menantu Linggawarman raja Tarumanagara ke 12 menjalankan roda pemerintahan. Pada waktu Adimulya Permanadikusuma bertapa, pemerintah di Galuh sementara di pegang oleh Rahyang Tamperan Barmawijayaatau Rakeyan Panarban atau disebut juga Aria Kebondan yang jabatannya sebagai patih Galuh akan tetapi Tamperan berbuat tidak baik, ia menghianati Prabu Adimulya.
Permanadikusuma dengan cara berbuat tidak senonoh dengan Pangrenyep selaku istri kedua sang Prabu. Perbuatan tersebut diketahui oleh rakyat Galuh, sehingga kehadiran kedua tokoh tersebut tidak disenangi oleh sebagian besar rakyat Galuh dikarenakan perbuatan tak bermoral Tamperan dan Pangrenyep. Setelah semakin erat hubungan gelap antara Tamperan dan Pangrenyep, Tamperan membuat siasat licik dengan menyuruh orang untuk membunuh Prabu Adimulya Permanadikusuma selaku raja yang sah. Pada akhirnya Adimulya Permanadikusuma terbunuh oleh orang suruhan Tamperan ketika sedang dalam proses bertapa di gunung. Namun nasib naas menimpa orang suruhan tersebut yang setelah menjalankan tugas dari Tamperan akhirnya dibunuh pula oleh Tamperan dengan dalih untuk menutupi keburukanya agar tidak tercium oleh khalayak umum. Tamperan memerintah dari tahun 732-739 secara resmi sebagai raja di Galuh.
Pada waktu Tamperan dinobatkan pada tahun 732 Masehi, Manarah atau Ciung Wanara telah berusia 14 tahun, sedangkan Rahyang Banga masih berumur 8 tahun. Ketika Ciung Wanara berusia 22 tahun, ia bersama pasukannya dari Geger Sunten ditambah dengan pasukan yang masih setia kepada Prabu Adimulya Permanadikusuma menyerang Kerajaan Galuh. Dalam penyerangan itu Tamperan dan Pangrenyep berhasil ditangkap, akan tetapi Banga yang pada waktu itu dibiarkan berhasil meloloskan kedua orang tuanya sehingga kedua tawanan itu melarikan diri menuju kea rah barat. Ciung Wanara sangat gusar ketika mendengar tawanannya melarikan diri, kemudian ia menyerang Rahyang Banga, maka terjadilah perkelahian diantara keduanya. Sementara itu pasukan pengejar. 
kedua tawanan takut kemalaman, dan takut kehilangan buruannya kemudian mereka menghujani hutan dengan panah. Panah-panah mereka akhirnya menewaskan Tamperan dan Pangrenyep. Berita binasanya Tamperan dan Pangrenyep, akhirnya sampai kepada Sanjaya sehingga ia membawa pasukan yang sangat besar. Akan tetapi hal ini telah diperhitungkan oleh Balangantrang, sehingga pertempuran berlangsung seru tanpa ada pihak yang kalah dan yang menang. Melihat sengitnya pertempuran itu, akhirnya tokoh tua Demunawan turun tangan dan berhasil melerai pertempuran itu. Kemudian kedua belah pihak diajaknya berunding, dan hasilnya dicapai kesepakatan bahwa wilayah bekas Tamperan dibagi dua yaitu kerajaan Sunda diserahkan kepada Rahyang Banga sedangkan Kerajaan Galuh diserahkan kepada Ciung Wanara atau Manarah. Setelah kejadian tersebut, Sang Manarah yang disebut juga Ciung Wanara atau Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana memerintah di Galuh dari tahun 739-783 Masehi. Ciung Wanara dijodohkan dengan cicit Demunawan yang bernama Kancana Wangi. Dari perkawinan ini dikaruniai anak bernama Puspasari yang kelak menikah dengan Sang Minastri atau Lutung Kasarung. Setelah cukup lama memerintah Ciung Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan. Pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya yaitu Sang Manisri atau Lutung Kasarung suami dari putri Puspasari. Pada tahun 738, Sang Manarah melakukan manurajasuniya yakni mengakhiri hidupnya dengan bertapa. Sang Manisri atau Prabu Dharmasakti Wirajayeswara berkuasa sejak 783-799 Masehi untuk melanjutkan estafet Prabu Galuh yang diwariskan oleh mertuanya.
Hubungan dengan daerah timur atau Kalingga yang dikuasai oleh putra Prabu Iswara sangatklah baik, begitu pula dengan daerah utara yaitu Saunggalah di daerah Kuningan menghormati Ajaran Galunggung ciptaan Batara Sempakwaja atau Dangiang Guru di Galunggung. Dari perkawinannya dengan Puspasari ia dikaruniai beberapa orang anak perempuan diantaranya yang sulung bernama Sang Tariwulan. Tariwulan diangkat menjadi putra Mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukannya. Telah menjadi kebiasaan pada waktu itu bila Negara, Rajanya tidak dikaruniai putra lelaki maka salah seorang putrinya diangkat menjadi penggantinya dan dalam pelaksanaan kenegaraan yang mengendalikan pemerintah yaitu suaminya (Sukardja, 2001:120-122). Purasaba atau pusat pemerintahan alias keraton Galuh pada masa Manisri masih berlokasi di daerah Priangan Timur, Desa Karangkamulyan dimana disana terdapat situs Batu Megalitik lebih banyak disangka orang sebagai pusat pemerintahan Galuh pada masa ini. Jadi selama diperintah oleh 9 orang Raja, Galuh beribukota seputar Purbaratu, Lakbok, Karangkamulyan dan mungkin juga Citapen Rancah. Di keempat tempat ini seluruhnya menguatkan pernah tumbuhnya kehidupan manusia pada abad-abad 7-8 dan 9 Masehi, dilihat dari situs peninggalan-peninggalan yang masih tersisa. Kemudian Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara atau Sang Tariwulan yang merupakan putra sulung Sang Manisri dari istri Puspasari menjadi penerus estafet sebagai Prabu Galuh berkuasa sekitar 7 tahun sejak 799-806 Masehi memindahkan pusat pemerintahan Galuh dari Periangan Timur ke Trowulan daerah Purworejo. dengan alasan strategi dimana tempat tersebut dinilai akan memberikan warna baru bagi pemerintahannya dimasa yang akan datang. 
Setelah Sang Tariwulan turun tahta dan digantikan oleh Prabhu Brajanagara Jayabhuwana atau Sang Welengan yang berkuasa sejak tahun 806-813, beliau melanjutkan misi sang ayah untuk membesarkan nama Galuh di daerah. Walaupun beliau sangat dekat dengan para penguasa di Mataram dan di Medang tetapi tidak membantu terhadap kemerosotan pamor yang dialami Kerajaannya. Ketika Sang Welengan wafat pada tahun 813, Linggabumi diangkat menjadi penguasa galuh dan berkuasa hingga tahun 852 masehi. Nasib kurang beruntung diterima oleh beliau ketika mengemban tahta kerajaan dikala pamor Galuh sedang dalam masa kemerosotan, ditambah Linggabumi hingga akhir kekuasaannya tidak memiliki keturunan. Alhasil tahta selanjutnya ia wariskan kepada adiknya yang dimana saat itu statusnya sebagai istri dari penguasa Kerajaan Sunda yaitu Rakeyan Wuwus. Rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulwan/Kolon merupakan pewaris tahta Kerajaan Sunda yang diberikan oleh sang ayah yang bernama Rakeyan Duwus atau lebih dikenal sebagai Prabu Pucukbumi Darmesywara. Rakeyan Wuwus selaku putra sulung dan pewaris tahta yang dianugrahi usia yang panjang, menjadikan dirinya sebagai penguasa di dua kerajaan yang berbeda yaitu Kerajaan Sunda dan juga Kerajaan Galuh selama 72 tahun atau terhitung sejak 852-891 Masehi. Hal tersebut dikarenakan penguasa sebelumnya yaitu Prabu Linggabumi tidak memiliki keturunan sehingga tahta tersebut diberikan kepada adiknya sehingga secara tidak langsung beliau diberikan pula mandat untuk memerintah dua kerajaan sekaligus atau dalam kata lain seperti menyatukan antara Sunda dan Galuh.
 Kemudian tahta selanjutnya diberikan kepada Arya Kadatwan/Kadaton atau Prabhu Raksa Salakabhuwana yang merupakan adik dari Rakryan Wuwus terhituk sejak 891-895 masehi. Beliau meneruskan kekuasaan di dua kerajaan bersaudara itu secara bersamaan dan diberikan amanat untuk tetap menjaga persatuan keduanya, akan tetapi Arya Kadatwan tidak lama berkuasa dikarenakan ia dibunuh oleh orang sunda yang tidak suka dengan peleburan antara Sunda dan juga Galuh. Hal tersebut dikarenakan setelah Tarumanagara pecah, pamor atau citra dari Sunda dianggap lebih unggul dibandingkan dengan Galuh sehingga alasan tersebut yang menguatkan banyak orang Sunda yang tidak ingin dipersatukan dengan Galuh. Setelah terbunuhnya Arya Kadatwan, Sunda dan juga Galuh kembali tidak bersatu. 
Galuh semakin terpecah menjadi beberapa bagian kerajaan kecil seperti di Galuh Kuningan, Galuh Kawali, Galuh Galunggun, dan juga Galuh Ciamis, bahkan dalam riwayat para sesepuh, masa pemerintah Raden Adipati Sastrawinata di tahun 1914-1936 selaku Bupati Ciamis yang pertama merupakan keturunan langsung dari Galuh. Kelanjutan mengenai kisah Galuh menurut kisah yang termuat dalam Pustaka Raja kawasa I Bhumi Nusantara dapat dikatakan terkesan selalu tumpang-tindih dengan cerita Sunda yang sejak 1297 lebih dikenal sebagai Pajajaran 
Kerajaan Pajajaran Di bawah kepemimpinan Prabu Siliwangi mencapai kemajuan pesat dari segi politik, pemerintahan hingga kesejahteraan rakyat. Kejayaannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Nusantara. Hal ini membawa rasa bangga pada keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Kemudian Kerajaan Padjajaran diturunkan kepada putranya Prabu Surawisesa (1521–1535) . Pada Pada 1597 M, Kerajaan Pajajaran runtuh karena diserang oleh Kesultanan Banten. Selain itu, terjadi pula perebutan batu penobatan oleh panglima perang kesultanan Banten, Maulana Yusuf.
Eksistensi Kerajaan Padjajaran masih dilestarikan oleh Kesultanan Selat jaoe / Selagodon/ Selacau dengan Perubahan Nama Selaco sebagai Salah satu keturunan Prabu Surawisesa yang Berada Di kabupaten Tasikmalaya dengan Membentuk Organisasi budaya berdasarkan UUD 1945 pasal 18b dan Pasal 28i berikut Uud Cagar Budaya No 11 tahun 2010 dengan Nomor Haritage Un 2018 Dikeluarkan salah satu lembaga Di PBB. Selaco dipimpin Prabu Dalem Patrakusuma Putra menantu Daripada Prabu Surawisesa Raja Padjajaran.
Selaco merupakan Cagar Budaya diwilayah pakidulan yang batas wilayahnya Sebelah Barat Taraju berbatasan Dengan Garut Wilayah Timur Gunung Cihaurkento Cibalong Saat ini Berbatasan Dengan Kerajaan Sukakerta Atau Sukapura Atau Sukaraja Saat ini perbatasan Selatan laut Selatan Cipatujah Perbatasan Utara.Kali Cilongan Desa Cibanteng Berbatasan Dengan Wilayah Kebataraan Galunggung atau Katumenggungan Kerajaan Sukakerta Saat itu yang menjadi Wilayah Independen Berdasarkan Perjanjian Antara Syech Abdul Muhyi Sebagai wakil Dari SelatJaoe. Dalam masa pemerintahannya, tidak terdapat prestasi yang diraihnya. Namun, tidak mengalami kemunduran juga. Terkait Kerajaan Kecil Yang Bernama SelatJaoe Tidak Banyak Diceritakan Dalam Sejarah Dikarenakan Wilayahnya Yang Kecil Dan Kekuasaan nya hanya 40 Taun Mulai 1548 m Sampai 1589 M
Tri Tangtu Buana Sebagai Nilai Konstitusi
Sejak dahulu, masyarakat Sunda telah memiliki tiga kelembagaan yang masing-masing memiliki tugas yang berbeda satu sama lain. Tiga kelembagaan tersebut memiliki kekuasaan dalam bidangnya masing-masing. Model pembagian/pemisahan kekuasaan tradisional masyarakat Sunda beserta aturanaturan lainnya cukup jelas digambarkan dalam teks Fragmen Carita Parahyangan (FCP) (abad ke-16 M). Hal ini tidak semata-mata ditentukan oleh seorang prebu, akan tetapi dilakukan atas kesepakatan dengan pihak rama dan pihak resi. Prebu-rama-resi inilah yang disebut sebagai Tri Tangtu di Buana (Tiga golongan yang menentukan roda kekuasaan di dunia). Sistem kekuasaan pada masyarakat Sunda pada masa itu harus dibagi-bagi sedemikian rupa sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya. Hal tersebut tentunya sangat beralasan supaya kekuasaan kerajaan tidak terpusatkan pada satu tangan (raja). Dengan pemisahan kekuasaan-kekuasaan itu dapatlah dicegah tindakan-tindakan penguasa secara sewenang-wenang dan kebebasan berpolitik dalam kerajaan akan lebih terjamin. 
Diuraikan dalam FCP lembar 5b bahwa, sang prebu itu harus ngagurat batu (menggores batu) yang berarti berwatak teguh dalam menjalankan aturan, sedangkan sang rama harus ngagurat lemah (menggores tanah) yang berarti berwatak bisa menentukan pijakan atau aturan bagi para pelaksana pemerintahan, dan sang resi harus ngagurat cai (menggores air) yang berarti berwatak menyejukkan dan adil. Di sini tampak adanya perbedaan antara organ dan fungsi ituJika dibandingkan antara Trias Politica model Montesquieu dengan Tri Tangtu di Buana, model pembagian/pemisahan kekuasaan pada sistem Kerajaan Sunda masa lalu, maka peneliti dapat menganalogikannya sebagai berikut. Fungsi atau tugas kekuasaan di kerajaan Sunda ada tiga. Tiap-tiap fungsi atau tugas itu terpisahpisah sehingga organ atau badan yang satu tidak mencampuri fungsi atau tugas badan-badan lainnya. Hal yang dimaksud disiratkan secara jelas berikut ini: 1) Tugas legislatif dipegang oleh golongan Rama dan semata-mata boleh dijalankan oleh badan itu. 2) Tugas eksekutif menjadi wewenang Prebu yang semata-mata boleh dijalankan oleh badan itu. 3) Tugas yudikatif semata-mata dipegang oleh golongan Resi sebagai badan peradilan. Jadi, jelaslah bahwa pemimpin pusat tidak serta merta diwariskan secara genealogis kepada putra sulung raja terdahulu. Akan tetapi, hal itu dilakukan atas kesepakatan dengan pihak rama (para tokoh wakil masyarakat) dan pihak resi (kaum intelektual ahli di bidang pengetahuan peradilan). Di lain pihak, pemimpin wilayah atau daerah itu juga ditentukan atas mekanisme kesepakatan dan kebijakan lembaga adat Tri Tangtu di Buana yang ada di masing-masing kerajaan daerah. Ini dapat memeperkecil terjadinya potensi gesekan atau konflik kepentingan di kalangan rakyat secara horizontal. 
Sistem tatanegara terjadi pada proses pembagian/pemisahan kekuasaan dan pembagian wilayah kekuasaan dalam Kerajaan Sunda. Tri Tangtu di Buana kini masih tampak jelas dalam tradisi kehidupan masyarakat Baduy di Kanekes yang terpusatkan pada “Tangtu Telu” atau tiga kapuunan, yakni Cibeo berkedudukan sebagai Puun Ponggawa (dapat diidentikkan sebagai Prebu), Cikartawana berkedudukan sebagai Puun Resi, dan Cikeusik berkedudukan sebagai Puun Rama. Salah satu naskah Sunda kuno yang isinya mengandung aspek-aspek tatanan negara Tri Tangtu di Buana dan masyarakat Sunda kuno pada umumnya adalah Fragmen Carita Parahyangan (FCP). 
Teks naskah FCP berwujud sebuah tulisan tangan yang hingga saat ini hanya ditemukan dalam satu buah naskah, itu pun tersimpan bersatu dengan naskah Carita Parahyangan (CP) dalam sebuah Kropak 406 yang kini tersimpan di bagian koleksi naskah Perpustakaan Nasional Jakarta. Naskah FCP mungkin dapat dikatakan memiliki keistimewaan tersendiri dalam khazanah pernaskahan Sunda Kuno karena selain berbahasa Sunda Kuno dan berbentuk prosa juga merupakan codex unicus (naskah tunggal). Secara garis besar, teks naskah FCP berisi mengenai tiga kisah utama para penguasa kerajaan Sunda yang berpusat di ibukota Pakuan Pajajaran. Ketiga kisah yang dimaksud adalah (1) pendahulu Maharaja Trarusbawa, (2) Maharaja Trarusbawa penguasa Pakuan Pajajaran yang bertakhta di keraton “Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati”, dan (3) Rakeyan Darmasiksa penguasa dari Saunggalah yang mewarisi keraton di Pakuan Pajajaran
Ada beberapa hal yang dapat digali dari isi teks FCP, di antaranya. Pertama, sistem pembagian kekuasaan didasarkan atas Tri Tangtu di Buana (tiga penentu urusan di negara) yang terdiri atas golongan: (1) Prebu ialah raja yang bisa dianalogikan sebagai pemegang lembaga eksekutif, (2) Rama ialah tokoh yang dituakan oleh masyarakat yang bisa dianalogikan sebagai pemegang lembaga legislatif, dan (3) Resi ialah kaum “akademisi” dan agamawan yang bisa dianalogikan sebaga pemegang lembaga yudikatif. Kedua, sistem birokrasi dalam hal kekuasaan mengatur seluruh daerah di dalam wilayah kerajaan telah tampak didasarkan atas sistem desentralisasi yang terbagi menjadi 12 wilayah penguasa yang memungkinkan daerah-daerah itu tumbuh secara otonom (Sunda: berkembang sesuai dengan ciri sabumi cara sadésa). Inilah salah satu ciri telah tumbuhnya “Bhineka Tunggal Ika”. Ketiga, model pengaturan pemerintahan yang dikelola melalui pangwereg yang bersifat top-down dan pamwatan yang bersifat bottomup dalam upaya meningkatkan stabilitas otonomi daerah demi menjamin kehidupan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, isi teks naskah FCP ini telah mampu memberikan sebagian gambaran bahwa masyarakat Sunda di masa lampau telah memiliki satu taraf kehidupan sosial kemasyarkatan yang cukup teratur, seperti juga sebagian masyarakat lainnya yang ada di Nusantara. Masyarakat lama telah mewariskan sesuatu yang mungkin sama sekali di luar perhitungan dan perkiraan kita saat ini. Masalahnya, antara lain, kurangnya pengetahuan dan pengenalan kita terhadap khazanah pernaskahan bangsa kita sendiri.
Terbukti, banyak hal yang saat ini sedang menjadi urusan besar, namun telah terbiasa bagi masyarakat masa silam. Setelah penulis membaca dengan seksama terjemahan teks dalam naskah FCP ini, penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian kualitatif untuk mengetahui makna Tri Tangtu di Buana yang mengandung aspek komunikasi politik dalam Fragmen Carita Parahyangan. Penulis memilih untuk meneliti makna Tri Tangtu di Buana yang mengandung aspekaspek komunikasi politik setelah sebelumnya melakukan pra-penelitian untuk mengetahui konteks komunikasi apa saja yang terkandung dalam FCP ini. Ternyata, setelah penulis melakukan pra-penelitian tersebut, konteks komunikasi politiklah yang mendominasi teks FCP, karena sejatinya FCP berisi teks-teks yang berkaitan dengan sistem pemerintahan yang sarat dengan unsur politik dan aktivitas komunikasi politik yang melibatkan orangorang dalam tiga kelembagaan Tri Tangtu di Buana. Penulis memilih beberapa bagian teks FCP berdasarkan nomor lembar halaman yang mengandung aspek-aspek komunikasi politik dalam Tri Tangtu di Buana (apakah itu teks yang mengandung unsur aktor politik, pembicaraan politik, dan sebagainya). Naskah FCP yang mengandung Tri Tangtu di Buana ini digarap dan ditransliterasi oleh Dr. Undang Ahmad Darsa, M.Hum., salah seorang filolog dari Universitas Padjadjaran. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan naskah FCP beserta teksnya sejelas mungkin. Penggarapan naskah FCP ini didasarkan atas kajian secara filologi dengan menerapkan metode edisi tunggal. Sedangkan untuk memahami isinya dilakukan tinjauan berdasarkan konsep-konsep kajian historiografi tradisional. Penelitian Undang ini menghasilkan teks-teks naskah FCP yang telah ditransliterasi ke dalam Bahasa Indonesia. Hasil dari transliterasi itulah yang digunakan oleh penulis untuk menghimpun berbagai data yang digunakan. Bila penelitian ini merupakan kajian filologi murni, maka penelitian yang dilakukan oleh penulis di dalam artikel ilmiah ini banyak menonjolkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi politik dalam lingkup Tri Tangtu di Buana.
FCP dapat dikatakan sebagai salah satu media penyampai pesan mengenai sekelumit kehidupan masyarakat Sunda Kuno pada masa Kerajaan Sunda masih berdiri. FCP berisi teks-teks yang menyangkut aspek komunikasi politik suprastruktur Kerajaan Sunda, yang di dalamnya terdapat banyak sekali pesan-pesan komunikasi politik yang dipertukarkan oleh para elit politik Kerajaan Sunda. Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, Kerajaan Sunda menganut sistem pemisahan/pembagian kekuasaan Tri Tangtu di Buana, di mana sistem pemerintahan kerajaan dijalankan oleh tiga unsur (prebu, rama, resi). Pada sekitar abad ke-17 Masehi, Montesquieu di dalam bukunya Esprit des Lois mengemukakan sebuah konsep pemisahan kekuasaan yang kita kenal bernama Trias Politica yang mengandung tiga fungsi kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (la puissance legislatief), kekuasaan eksekutif (la puissance executief) dan kekuasaan yudikatif (la puissance de juger).
Sistem tata negara Kerajaan Galuh dengan Tri Tangtu di Buana menggambarkan Tri Tangtu di Buana yang terdiri dari prebu, rama, dan resi ini merupakan tiga lembaga yang secara bersamaan memegang jabatan dalam pemerintahannya. ketiganya memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dalam memimpin. 

Bentuk Konstitusi Negara Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara hukum yang dicantumkan dalam Pasal 1 Ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Setiap negara hukum mempunyai sistem hukum yang mempunyai karakteristik yang berbeda. Sistem hukum common law mempunyai karakteristik yang beroientasi pada kasus, sedangkan sistem hukum civil law mengarah atau berorientasi pada undang-undang. Namun, peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara detail dalam pemenuhan aturan hukum di dalam peristiwa hukum, maka dilengkapi dengan yurisprudensi.
Negara yang menggunakan sistem hukum common law diantaranya adalah negara Inggris, Australia dan Amerika Serikat , sedangkan negara dengan menggunakan sistem hukum civil law antara lain Indonesia, Perancis, Cina, Jerman dan Jepang. Setiap negara pasti mempunyai konstitusi baik konstutusi tertulis maupun konstitusi tidak tertulis. Konstitusi berarti pembentukan sebagaimana dalam bahasa Perancis konstutusi berasal dari kata kerja constituer yang mempunyai arti membentuk. Hakikat konstitusi menurut Schmidt di dalam bukunya berjudul “Verfassunslehre” sebagai berikut, pertama hakikat konstitusi dalam pengertian absolut yaitu konstitusi mengatur bangunan negara dan seisinya. Kedua hakikat konstitusi dalam pengertian relatif yaitu konstitusi mengatur secara relatif berdasarkan kepentingan. Ketiga hakikat konstitusi dalam pengertian positif yaitu berkaitan dengan ius constitutum dalam artian konstitusi sebagai kebijakan tertinggi dalam suatu negara. Keempat, konstitusi dalam pengertian ideal yaitu konstitusi berisi cita-cita atau tujuan negara. 
Pada umumnya bentuk konstitusi di suatu negara dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu konstutusi tertulis (bernaskan) dan konstitusi tidak tertulis (tidak bernaskah). Konstitusi tertulis atau writen constitution adalah konstitusi tertulis atau ditulis di dalam dokumen resmi atau dokumen formal. Contoh dari konstitusi tertulis adalah konstutusi indonesia yaitu UUD 1945 (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Konstitusi di Amerika Serikat dan lain-lain. Sedangkan konstitusi tidak tertulis atau no writen constitution adalah konstitusi tidak tertulis dalam dokumen resmi negara. Contoh negara dari konstitusi tidak tertulis yaitu konstitusi di negara Inggris, konstitusi New Zeland dan konstitusi di negara Israel.
Indonesia sebagai negara hukum mempunyai sumber hukum formil dan materiil, sumber hukum formil tersebut antara lain undang-undang, konvensi, traktat atau perjanjian antar negara, keputusan-keputusan hakim atau yurisprudensi dan doktrin, sedangkan dari sumber hukum materiil meliputi pandangan hidup, hubungan sosial politik, dan lain sebagainya. Indonesia mempunyai konstitusi tunggal dan tertulis (ducumentary constitution) seperti negara Belanda, Jepang, Perancis, dan Amerika Serikat. Konstitusi tertulis di Indonesia yaitu UUD 1945. 
Suatu produk hukum dalam hal ini Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi negara harus benar-benar diperhatikan dalam kehidupan bernegara khususnya Indonesia. Penyelenggaraan kehidupan bernegara dalam penyerahan kekuasaannya juga harus dilakukan dengan kedaulatan rakyat dan berdasarkan konstitusi. Konstitusi tertulis di Indonesia memungkinkan terjadi perubahan atau amandemen konstitusi misalnya pada pasal-pasal yang bersifat rigid atau supel. Indonesia sendiri telah mengalami amandemen konstitusi atau amandemen undang-undang dasar, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 asli, Undang-Undang Dasar RIS/ Konstitusi RIS, Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, kemudian yang diterapkan sampai sekarang adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 setelah amandemen. 
Amandemen tersebut membuktikan bahwa Indonesia memang menggunakan konstitusi secara tertulis atau bernaskah. Indonesia sendiri telah mengamandemen konstutusi sebanyak 4 kali. Amandemen UUD 1945 ini telah memberikan banyak kemajuan dan materi muatan yang terkandung didalamnya sudah memuat kebutuhan masyarakat serta sudah mengikuti perkembangan zaman.Adanya konstitusi tersebut jika dilihat dari legalitasnya maka konstitusi akan lebih terjamin dari pada konstitusi yang tidak tertulis. 

Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Indonesia merupakan hukum tertinggi yang ditetapkan secara konstitusional, sedangkan hukum itu merupakan produk politik, karena dalam kenyataannya setiap produk hukum merupakan produk politik, sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling interaksi dikalangan politisi.
Sedangkan politik itu kental dengan kepentingan, oleh karena itu tidak mustahil karena kepentingan itulah kemudian dapat merubah produk hukum juga, demikian halnya terhadap konstitusi di Indonesia yang selalu berubah dan mengikuti perkembangan politik. Sejak Proklamsai Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dan diikuti pengesahan UUD 1945 sebagai konstitusi pada tanggal 18 Agustus 1945, hingga kini UUD 1945 sebagai konstitusi telah mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan, hal itu disebabkan karena perkembangan politik demokrasi yang selalu berkembang dan berubah-ubah pula. kepentingan yang berubah-ubah juga menjadi sebab berubahnya konstitusi, namun semuanya pasti mempunyai tujuan sama yaitu menuju hukum yang dicita-citakan (Ius constituendum). Perkembangan konstitusi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem politik pada waktu tertentu, pada mulanya UUD 1945 dijadikan konstitusi, namun sempat tidak diberlakukan pada pemerintahan Republik Indonesia Serikan dan masa sistem pemerintahan parlementer akhirnya UUD 1945 sebagai konstitusi di Indonesia deberlakukan kembali hingga kini dan telah mengalami perubahan. 
Konstitusi secara umum memiliki sifatsifat formil dan materiil. Konstitusi dalam arti formil berarti konstitusi yang tertulis dalam suatu ketatanegaraan suatu negara, Dalam pandangan ini suatu konstitusi baru bermakna apabila konstitusi tersebut telah berbentuk nakskah tertulis dan diundangkan, misalnya UUD 1945, Sedangkan konstitusi materiil adalah suatu konstitusi jika orang melihat dari segi isinya, isi konstitusi pada dasarnya menyangkut hal-hal yang bersifat dasar atau pokok bagi rakyat dan negara.
Sifat konstitusi tertulis dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Dasar pada suatu negara, sedangkan konstitusi disamping memuat aspek hukum juga memuat aspek politik yang lebih banyak lagi, yaitu politik pada masa tertentu suatu negara. Pada suatu negara selalu mengalami perkembangan politik, dengan demikian konstitusipun juga selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan politik suatu bangsa, demikian pula Indonesia telah mengalami perkembangan konstitusi sejalan dengan perkembangan politik sejak kemerdekaan. Konfigursi politik tertentu akan mempengaruhi perkembangan ketatanegaraan suatu bangsa, begitu juga di Indonesia yang telah mengalami perkembangan politik pada beberapa periode tentu akan mempengaruhi perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Perkembangan ketatanegaraan tersebut juga sejalan dengan perkembangan dan perubahan konstitusi di Indonesia
Periode 18Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. 
Pada masa periode pertama kali terbentuknya Negara Republik Indonesia, konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang pertama kali berlaku adalah UUD 1945 hasil rancangan BPUPKI, kemudian disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Menurut UUD 1945 kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara.
Periopde 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, masa berlakunya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sebagai rasa ungkapan ketidakpuasan Belanda terhadap kemerdekaan Republik Indonesia, terjadilah kontak senjata (agresi) oleh Belanda pada tahun 1947 dan 1948, dengan keinginan Belanda untuk memecah belah NKRI menjadi negara federal agar dengan secara mudah dikuasai kembali oleh Belanda, akhirnya disepakati untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda, dengan menghasilkan tiga buah persetujuan antara lain : 1) Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat; 2) Penyerahan kedaulatan Kepada Republik Indonesia Serikat; dan 3) Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.Pada tahun 1949 berubahlah konstitusi Indonesia yaitu dari UUD 1945 menjadi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS), maka berubah pula bentuk Negara Kesatuan menjadi negara Serikat (federal), yaitu negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri sendiri-sendiri kemudian mengadakan ikatan kerja sama secara efektif, atau dengan kata lain negara serikat adalah negara yang tersusun jamak terdiri dari negara-negara bagian. Kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat. Sistem pemerintahan presidensial berubah menjadi parlementer, yang bertanggung jawab kebijaksanaan pemerintah berada di tangan Menteri-Menteri baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada parlemen (DPR), Namun demikian pada konstitusi RIS ini juga belum dilaksanakan secara efektif, karena lembaga-lembaga negara belum dibentuk sesuai amanat UUD RIS.
Periode 17Agustus 1950 samapi dengan 5 Juli 1959, masa berlaku Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950).
Ternyata Konstitusi RIS tidak berumur panjang, hal itu disebabkan karena isi konstitusi tidak berakar dari kehendak rakyat, juga bukan merupakan kehendak politik rakyat Indonesia melainkan rekayasa dari pihak Balanda maupun PBB, sehingga menimbulkan tuntutan untuk kembali ke NKRI. Satu persatu negara bagian menggabungkan diri menjadi negara Republik Indonesia, kemudian disepakati untuk kembali ke NKRI dengan menggunakan UUD sementara 1950.
Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 19 Oktober 1999, masa berlaku Undang-Undang Dasar 1945.
Pada periode ini UUD 1945 diberlakukan kembali dengan dasar dekrit Prsiden tanggal 5 Juli tahun 1959. Berdasarkan ketentuan ketatanegaraan dekrit presiden diperbolehkan karena negara dalam keadaan bahaya oleh karena itu Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang perlu mengambil tindakan untuk menyelamatkan bangsa dan negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Berlakunya kembali UUD 1945 berarti merubah sistem ketatanegaraan, Presiden yang sebelumnya hanya sebagai kepala negara selanjutnya juga berfungsi sebagai kepala pemerintahan, dibantu Menteri-Menteri kabinet yang bertanggung jawab kepada Presiden. Sistem pemerintahan yang sebelumnya parlementer berubah menjadi sistem presidensial.
Periode 19 Oktober 1999 sampai dengan 10 Agustus 2002, masa berlaku pelaksanaan perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai implementasi tuntutan reformasi yang berkumandang pada tahun 1998, adalah melak uk an perubahan terhadap UUD 1945 sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dasar hukum perubahan UUD 1945 adalah Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sesuai dengan kewenangannya, sehingga nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi di Negara Kesatuan Rapublik Indonesia nampak diterapkan dengan baik.
Periode 10 Agustus 2002 sampai dengan sekarang masa berlaku Undang-Undang Dasar 1945, setelah mengalami perubahan.
Perubahan hingga keempat kalinya UUD 1945 merupakan dasar Negara Republik Indonesia yang fundamental untuk menghantarkan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia, tentu saja kehidupan berdemokrasi lebih terjamin lagi, karena perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara hatihati, tidak tergesa-gesa, serta dengan menggunakan waktu yang cukup, tidak seperti yang dilakukan BPUPKI pada saat merancang UUD waktu itu, yaitu sangat tergesa-gesa dan masih dalam suasana dibawah penjajahan Jepang. Pada awalnya gagasan untuk melaksanakan perubahan/amandemen UUD 1945 tidak diterima oleh kekuatan politik yang ada, walaupun perdebatan tentang perubahan UUD 1945 sudah mulai hangat pada tahun 1970 an. Pada saat reformasi, agenda yang utama adalah melaksanakan perubahan UUD 1945, yaitu telah terselenggara pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan berhasil menetapkan perubahan UUD 1945 yang pertama, kemudian disusul perubahan kedua, ketiga hingga keempat. Dahulu setiap gagasan amandemen UUD 1945 selalu dianggap salah dan dianggap bertendensi subversi atas negara dan pemerintah, tetapi dengan adanya perubahan pertama ditahun 1999, mitos tentang kesaktian dan kesakralan konstitusi itu menjadi runtuh.





Kesimpulan dan Saran
Perbandingan hukum tata negara dalam bentuk konstitusi Indonesia dan sistem tata negara Kerajaan Galuh terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Sitem Hukum Tata Negara Kerajaan Galuh melalui Tri Tanggu Buana bentuk konstitusinya tidak tertulis namun nilainya melekat pada setiap aspek bernegara baik itu Maharaja, prabu, rama dan resi nya. Konstitusi Kerajaan Galuh menjadi jadi diri bernegara dan tidak bisa dirubah oleh apapun yang terkandung hak dan kewajibannya. Berbeda dengan kontitusi Negara Republik Indonesia sebagai dasar hukum negara dapat dirubah atau diamandemen sesuai dengan kondisi politik, hal ini dapat dilihat dari beberapa momentum perubahan sistem tata negara di Indonesia. Namun sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan memiliki kesamaan dengan trias politica eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam menjalankan roda pemerintahan. 




DAFTAR PUSTAKA

A. Darsa, Undang. (2004). Kropak 406 : Carita Parahiyangan dan fragmén Carita Parahiyangan. Bandung : Balai Péngélolaan Muséum Négéri Sri Baduga.

Aini Loita. (2018). Situs Kabyutuan Karangkamulyan (Studi Deskriptif Pada Benda-Benda Situs Karangkamulyan di Desa Karangkamulyan Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat). Magelar : Jurnal Pendidikan Seni.(5).1. 13-23

Ambary, H.M., dkk. (1993). Proceedings Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran. Bogor: Universitas Pakuan Bogor dan Yayasan Pembangunan Jawa Barat.

Atja. (1968). Tjarita Parahijangan. Bandung: Wedalan Jajasan Kebudajaan Nusalarang. Atja. (1990a). “Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya: Galuh Berarti Putri Bangsawan Atau Sejenis Batu Permata”. Pikiran Rakyat (15 Mei 1990) 

Atja. (1990b). “Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya (2): Sang Manarah, Penjelmaan Bagawat Sajala-jala yang terbunuh”. Pikiran Rakyat (16 Mei 1990). Atja. (1990c). “Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya (3-habis): Tokoh-tokoh Galuh Menurut Wangsakerta”. Pikiran Rakyat (17 Mei 1990).

Darmodiharjo, Darji. 1991. Santiaji pancasila. Surabaya: Usaha Nasional

Diniyanto, A (n.d). Bahan Ajar Perbandingan Hukum Tata Negara: Teknik Perbandingan Hukum Tata Negara. Institut Agama Islam Negeri Pekalongan

Ekadjati, E.S. (Penyunting). (1981). Wawacan Sajarah Galuh. Jakarta: Ecole francaise d‟Extreme-Orient.

Endang Caturwati (2012), Konsep Tri Tangtu dalam Budaya Sunda. Institut Budaya Indonesia. Bandung.

Fauzi Rahman. (2018).Perbandingan Legenda Ciungwanara dengan Cindelaras serta Kajian Budaya Lokal.Jurnal Penelitian Sastra.(11).1.31-44.

Fatmawati. (2010). Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen Dengan Sistem Multikameral: Studi Perbandingan Antara Indonesia dan Berbagai Negara. Jakarta: UI Press..

Galba, S., dan Agus Heryana (Penyunting). (2006). Nilai Budaya pada Karya Sastra Sunda. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Lubis, N. H.(2003). Sejarah Tatar Sunda Jilid II. Bandung : Lembaga Penelitian Unpad.

Luluardi, Y. D., & Diniyanto, A. (2021). Political Dynasty in Law and Political Perspective: to what extent has the Election Law been reformed?. Journal of Law and Legal Reform, 1(2), 109-124.

MD, Muh, Mahfud. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nina herlina,dkk. (2016). Rekonstruksi Kerajaan Galuh Abad VII-XV. Jurnal Paramita. (26).1. Fakultas Ilmu Budaya UNPAD.

Sukardja Djadja. 2001. Sejarah Galuh Ciamis.Ciamis : Yayasan SGB Ciamis

Sukardja djadja. (2001). Inventaris dan Dokumentasi Sumber,Sejarah Galuh Ciamis.Ciamis: Dinas Kabupaten Ciamis.




Komentar